Setelah berkembang dari negara asalnya, Arab Saudi, gerakan itu kini juga banyak ditemui di sekeliling kita. Mereka kerap mengusung nama “salafiyah” atau “salafi”. Maknanya, gerakan yang mengikuti jejak salaf.
Merunut sejarahnya, slogan salafiyah pertama kali muncul di Mesir bersamaan dengan lahirnya gerakan reformasi keagamaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang dipelopori Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, lalu dilanjutkan oleh Rasyid Ridha, Abdurrahman Al-Kawakibi, dan lain-lain.
Di masa itu, bermunculan pelbagai bid’ah dan khurafat. Para penyeru reformasi tersebut berupaya memperbaiki dengan cara mengembalikan mereka pada kesejatian Islam. Slogan yang digunakan oleh tokoh pembaharu itu adalah salafiyah, bukan sebagai penunjuk atas lahirnya madzhab Islam yang baru, tapi sekadar identitas sebuah dakwah dan deskripsi sebuah metode.
Namun, seiring berjalannya waktu, slogan salafiyah mengalami degradasi. Slogan tersebut, yang sedianya dimaksudkan untuk merefleksikan ketundukan pada konsepsi Ahlussunnah wal Jama’ah, berubah menjadi slogan sekelompok orang yang berpegang teguh pada beberapa pendapat dan menganggap pendapat mereka sebagai pembeda antara yang mendapat petunjuk dan yang sesat.
Tidak Kaku
Kata
salaf berasal dari kata
salafa-yaslufu-salafan, artinya “telah lalu”. Bentuk jamaknya adalah
aslaaf dan
sullaaf. Sedang sebagai istilah, salaf disepakati banyak ulama dengan makna zaman 300 tahun pertama, yang dimulai dari diutusnya Rasululullah SAW. Yakni zaman kenabian, zaman para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Zaman ini berkarakter sebagai zaman keemasan Islam, karena mereka yang hidup di zaman ini langsung memahami ajaran Islam melalui wahyu yang diturunkan Malaikat Jibril AS kepada Nabi Muhammad SAW. Sehingga kurun ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” – HR Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abdullah bin Mas’ud RA.
Semua orang yang beragama Islam tentu ingin mengikuti salafush shalih, tapi masalahnya tidak sesederhana itu. Masa terus berputar. Kini umat Islam hidup pada zaman yang jauh sekali dari zaman sahabat Nabi. Lalu, bagaimana umat Islam kini harus meniti ajaran para salaf?
Dr. Said Ramadhan Al-Buthi, dalam kitabnya,
As-Salafiyyah Marhalah Zamaniyyah Mubarakah La Madzhab Islamiy, menerangkan, cara mengkuti salafush shalih bukan hanya mengikuti secara harfiah ucapan, perbuatan, kebijakan, serta kebiasaan yang ditetapkan dan dijalankan mereka, tanpa menambah maupun menguranginya sama sekali. Bahkan ulama salaf sendiri pun tidak berpendirian sekaku itu. Mereka menjalankan hukum-hukum itu sesuai dengan
‘illat (alasan-alasan)-nya sehingga mampu menjawab perubahan zaman.
Mereka menjawab tuntutan zaman dengan berpedoman kepada Al-Qur'an dan hadits dengan menggunakan penalaran ilmu hukum serta perangkat ilmu pengambilan hukum. Bukan semata-mata tekstual seperti nash sumber hukumnya.
Salah satu contoh kelenturan salafush shalih dalam menghadapi perubahan zaman, misalnya, para sahabat Nabi sebelum hijrah ke Makkah belum terbiasa dengan membaca dan menulis. Setelah hijrah, Nabi menganjurkan mereka untuk belajar membaca dan menulis.
Salafush shalih sendiri tidak kaku dalam menyikapi nash-nash Al-Qur’an dan sunnah. Jadi, bagaimana mungkin nisbah salaf digunakan untuk memahami Islam secara kaku hingga memiliki konsekuensi mayoritas umat Islam di dunia ini tak lagi layak menyandang gelar sebagai muslim, karena pandangan segelintir umat yang merasa sebagai cerminan salaf sejati dan benar sendiri dan yang selain mereka dianggap keluar dari Islam?! (Selengkapnya, baca
alKisah edisi 01/2012)
IY